Selasa, 24 Maret 2009

Cerita Malam di Arena Dugem Sands

KabarIndonesia - Sands adalah nama sebuah one top entertainment papan atas yang ada di kawasan pecinan. Banyak hal menarik, khususnya sisi hiburan dunia malam yang dapat dinikmati dari tempat ini. KabarIndonesia sudah merasakannya di pengujung 2007 lalu.

Suatu hari di pertengahan Desember lalu, satu informasi tentang dunia clubbing mampir ke telepon seluler KabarIndonesia. Satu pesan menarik yang juga bisa diartikan sebagai undangan. "...akan tampil Supercozy, dj wanita asal Jepang di Lounge Sands." "Mesti datang nih," gumam KabarIndonesia.

Singkat cerita, di malam yang telah diinformasikan itu KabarIndonesia bersama si rekan yang mengundang meluncur ke Sands International Executive Club. Perjalanan terasa lancar karena ruas jalan yang memang sudah lengang. "Tumben jalanan sudah sepi. Biasanya jam-jam segini masih agak ramai," celetuk rekan sambil melihat arlojinya.

Sekitar pukul 22.00, mobil yang kami kendarai mulai memasuki area gedung Mangga Dua Square di Jakarta Utara. Pelan tapi pasti, terus meluncur menuju area parkir di lantai lima. Sudah padat, rupanya. Tapi untungnya kami masih dapat space. Setelah memastikan kendaraan aman untuk ditinggal, kami bergegas menuju lift untuk naik ke lantai enam. Lamat-lamat, gemuruh musik house mulai menerpa gendang telinga.

Tik. Begitu pintu lift terbuka di lantai enam, dentuman yang awalnya samar-samar itu terdengar jelas. Imbasnya, spontan kami mulai sedikit bergoyang mengikuti hentakan beat tersebut. Duk-tak-duk-duk... Terus bergoyang menuju lounge yang sudah mulai crowded.

"Gila, penuh banget coy," kata si rekan. "Yoi, daya pikat Supercozy ternyata mampu bikin Sands sangat-sangat crowded," puji KabarIndonesia.

Malam itu kami berdua tak peduli lagi bisa dapat table atau tidak. Yang ada di pikiran cuma ingin menikmati aksi spinning disk jockey yang konon sangat terkenal di negaranya. Dan jujur, kami berdua malam itu sangat larut dengan kemeriahan perayaan party Johnnie Walker yang mengambil tajuk "Moment of Resonance". Menikmati keriuhan suasana yang mixed antara tiupan peluit para waiter dan waitress, teriakan heboh para tamu, serta dentaman beat-beat trance dan techno.

Tepat pukul 23.00, sang DJ yang dinantikan muncul di belakang dj booth. Goyangan para tamu, termasuk kami berdua, pun menjadi kian atraktif. Apalagi di panggung lounge juga sudah meliuk erotis empat sexy dancer. Suasana makin terasa hot. Kami sendiri tak sadar berapa lama turut bergoyang di lounge. Yang jelas, cucuran peluh telah membasahi seluruh tubuh.

"Cing, pindah yuk, ke diskotek," teriak KabarIndonesia ke rekan."Kenapa? Sudah mulai bosen ya, denger musik selatan," jawabnya dengan keras. "Pengen ganti suasana aja. Sayang lagi udah nyampe sini tapi nggak mampir ke diskotek," jawab KabarIndonesia lagi. "Ya udah, ayo ke sana. Tapi habisin dulu minumannya," kata si rekan lagi.

Sisa Johnnie Walker di gelas yang tergenggam langsung kami tenggak sampai habis. Setelah itu kami pun keluar dari lounge menuju diskotek. Menyusuri lorong yang berkelok dan terasa panjang bagi kami yang sudah terpengaruh alkohol. Bagusnya, kami sampai juga di tujuan tanpa rintangan apapun.

"She pu kan pu siang pu ing kai/Cai sie sie ni ti ai/Wo pu te pu chuen cai...../Siang yi khe chen ai/Hai she hui tai kei ni shang hai..."
Alamak, remix funky house "Xie Xie Nie Te Ai"-nya Andy Lau terasa lebih dinamis dan energik di telinga. Hal yang kami yakini sama dirasakan para clubbers yang sedang asyik bergoyang.

"Ayo goyang, goyang terus...," histeris seorang wanita bertubuh padat di sebelah kami. Di belakang ia, seorang pria berperawakan sedang asyik memeluk tubuh wanita tersebut sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Itu cowok ngegeleng nggak mau goyang apa karena lagi asyik on, yah," tanya si rekan berkelakar. "Who care, huh," jawab KabarIndonesia tak peduli. "He-he-he...," balasnya cengar-cengir.

Waktu menunjukkan pukul 02.15. Artinya, kami baru sekitar 10 menit berada di floor diskotek. Dengan bantuan seorang waiter, table yang kami dapat berada di bagian tengah diskotek. Kurang enjoy, sebenarnya di posisi ini. Tapi ya sudahlah. Dari pada standing terus.

Sambil menunggu datangnya paket minuman yang dipesan, tubuh kami yang sejak awal sudah dirasuki alkohol dan dentuman trance kembali bergoyang. Menikmati medley hentakan beat-beat funkot Mandarin yang dimainkan resident DJ Rudy Tan. Berturut-turut setelah remix "Xie Xie Ni Te Ai" Andy Lau, kalau tak salah dengar DJ Rudy men-spinning "Huang Hun" yang dipopulerkan Steve Chow dan "Na Ke Bu Yi Ding"-nya Karen Mok. Aksinya yang on fire membuat crowd seakan larut di ‘alam kahyangan'.

Berselang 45 menit, Rudy terlihat mulai memperlambat aksinya untuk digantikan resident dj Sands yang lain. KabarIndonesia yang mulai merasa agak ‘pening' coba memanfaatkan kesempatan ini. "Coy, gue coba ke dj yang tadi ya. Mau wawancara sedikit untuk bahan liputan," pinta KabarIndonesia ke si rekan yang tengah asyik ajep-ajep. Tak ada jawaban kecuali acungan satu jempol. Ah, itu artinya ia memberi izin.

Dengan langkah sedikit gontai KabarIndonesia pun berjalan menuju studio dj yang berada di belakang stage. Berkenalan dengan DJ Rudy Tan untuk satu perbincangan ‘warung kopi' yang penuh joke. Namun untuk hasilnya, KabarIndonesia menggaransi tak bakal menuangkannya dalam versi ‘warung kopi'.

"Saya memang diflot membuat remix funkot lagu-lagu Mandarin untuk crowd Diskotek Sands. Bisa bergabung di Sands juga berkat spesialisasi ini," katanya menjawab pertanyaan pertama KabarIndonesia.

Di perbincangan selanjutnya, Rudy pun mengaku memulai kariernya sebagai disk jockey pada tahun 1998. Dinilai berbakat, fast learner, dan pintar bergaul, teman-temannya sesama dj kemudian menyarankan ia ikut audisi dj di Sands. "Di audisi itu saya mengolah beat dan melodi lagu Mandarin. Mungkin karena hasilnya enak didengar, saya terpilih bersama sembilan dj lainnya menjadi kru resident dj Sands," ungkapnya lagi.

Waktu perbincangan KabarIndonesia dengan DJ Rudy Tan malam itu sebenarnya tak lama. Cuma sekian menit. Ia hendak sejenak beristirahat, sementara KabarIndonesia juga berencana pulang. Nyaris pukul 04.00. Menandai waktu bersenang-senang di dunia malam hampir usai. Setelah berpamitan akrab, KabarIndonesia kembali ke table dan mengajak rekan yang terlihat mulai kelelahan untuk meninggalkan arena.

Sambil tetap bergoyang santai, pelan-pelan kami melangkahkan kaki keluar. Membebaskan telinga dari hentakan funkot "Hampa" Ari Lasso yang masih membius crowd di dalam. "...Entah di mana dirimu berada/hampa terasa hidupku tanpa dirimu/ Apakah di sana kau rindukan aku/ Seperti diriku yang slalu merindukanmu..." Ahhh.

Senin, 23 Maret 2009

SURABAYA DAN PERADABAN

Peradaban kota merupakan perwakilan dunia modern. Di mana rasionalitas, efektifitas, efesiensi dan pembagian kerja nampak mengedepan. Dengan lapisan-lapisan masyarakat yang terbagi secara jelas, baik dalam bidang pekerjaan maupun kelas sosial. Dan kelas sosial inilah yang merupakan problem kota besar, di mana kaum yang terpinggirkan atau bagi pejabat yang telah kehilangan moralitasnya. Apakah kota menjadi surga bagi mereka atau sebaliknya menjadi neraka yang mengerikan bagi kehidupan selanjutnya.

Memang kota diharapkan menjadi sebuah peradaban yang serba modern, serba praktis dan rasional. Di mana kota menjadi sentral kehidupan dan peradaban yang dijunjung warga kota, dengan teknologi dan kemudahannya. Sehingga warga kota seringkali disebut warga yang modern dan rasional, dibanding warga lainnya yang ada di luar kota, yang identik dengan tradisional dan terbelakang.

Namun kenyataannya kota seringkali tidak seperti yang diharapkan, oleh para pendatang yang berharap mendapat mimpi indah hidup di kota. Kota seolah menjadi lorong gelap dengan struktur sosial yang tidak memihak. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terpinggirkan. Maka muncul hunian para kaum miskin, gelandangan, pelacuran dan kriminalitas.

Kejahatan pun bukan hanya milik kaum terpinggirkan, namun para kaum terhormat kota tak ketinggalan ikut berperan, menjadi koruptor dan pengambil kebijakan yang salah. Inilah peradaban kota yang mengalami dehumanisme dan ketertinggalan budaya. Karena kebudayaan selalu bercita-cita dan merefleksikan dirinya dengan sesuatu yang bermoral dan memanusiakan manusia. Sedangkan peradaban kota cenderung menjauhi moralitas.

Fatamorgana

Tak kecuali kota Surabaya, yang menjadi sumber inspirasi bagi sebagian sastrawan, dengan menghayati kenyataan yang ada. Yang diolah menjadi estetika urban oleh para sastrawan-penyair. Di mana Surabaya dan peradabannya menjadi sebuah wilayah yang patut dimaknai sebagai tanda-tanda zaman. Sehingga banyak sastrawan yang telah menulis karya, baik prosa maupun puisi yang bersumber dari kota Surabaya.

Sebut saja Idrus dengan cerpen Surabaya-nya yang terkenal itu, di mana menceritakan kebobrokan moral para pejuang, Pramudya Ananta Toer dengan Bumi Manusia, dengan perjuangan Nyai Ontosoroh yang berseting di wilayah Wonokromo dan sekitarnya, Budi Darma dengan Rafilus, tokoh aneh dan terasing dari peradaban kota sehingga nampak terpinggirkan, bahkan penyair Jerman Berthold Brecht juga pernah menulis puisi berjudul Surabaya Jhony.

Tak ketinggalan para penyair Jawa Timur juga memberikan perhatian khusus terhadap peradaban kota Surabaya dalam karya-karyanya. Dan umumnya karya-karya mereka selalu bernada murung ketika menatap peradaban Surabaya. Misal puisi “Montase Kota Mati”-F Aziz Manna, Di taman makam kota terbaca kisah/ribuan orang bergerak dalam perang/(antara impian dan dendam) payung-payung hitam/meninggalkan masa depan/waktu hanya hitungan, kota hanya sebutan.

Sebuah kecemasan akan modernitas yang ternyata kurang membawa keberuntungan bagi kaum pendatang maupun kaum marginal. Sehingga kota hanya sebuah impian bagi para pendatang, yang kalah secara struktural dan hidup sebagai parasit kota. Mereka miskin dan termarginalkan secara struktural, kota tidak punya rasionalitas, bahkan birokrasi yang ada menjadi belenggu, bukannya mempermudah, namun justru memperlambat dan seringkali memunculkan sarang koruptor, dengan banyak pintu dan pungutan. Sehingga kota nampak irasional, penuh fatamorgana, kita tak punya/rasionalitas; kota/tua kita-hantu-hantu yang diledakkan//Di sepanjang/trotoar-pagar hanya fatamorgana, “Melawat ke Kota Tua”-Mashuri.

Kota memang merupkan meltingpot, tempat awal mula bertemu dengan segala silang sengkarut kehidupan kota besar. Di mana akhirnya kota menjadi hunian orang tersingkir semacam pencopet, pelacur, begundal dan buronan. Hal ini kita jumpai dalam puisi Akhudiat, Wonokromo adalah leher botol/Ke tembolok Surabaya melahap & muntahan apa & siapa saja/Tak perlu basa-basimu, sumpah serapahmu, protes atau acungan jempol/Bahkan sindiran atas jalan layang//Di sini kancah buangan & mimpi orang tersingkir/Pecopet, pelacur/begundal, buronan/Mengendap di kampung-kampung yang tumbuh sendiri/Atau Sembunyi di hutan lalang timur stasiun kereta api//Wonokromo adalah monumen/Pasar terbakar.

Diancuk Jaran

Sedang puisi-puisi Indra Tjahyadi yang terangkum dalam “Kitab Syair Diancuk Jaran” berisi 32 puisi, rupanya khusus diperuntukkan bagi kota Surabaya. Semua puisi bercerita tentang kehidupan Surabaya, dari zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan hingga kini. Di mana diceritakan baik kehidupan orang Cina, Arab maupun pribumi, dengan dialek yang berciri khas Suroboyoan, terus terang, kasar, liar dan menohok. Sehingga memunculkan sebuah identitas kota baik secara isi maupun bentuk ungkapnya. Inilah puisi yang menampilkan diri Surabaya secara lebih kompleks.

Baik yang remang-remang semacam pelacuran, tak ada setan/tapi mereka sebut aku begundal/;pejantan jalang yang terlahir/dari rahim danyang/kampung jarak gang makam. Tonggak kepahlawanan yang ironis macam puisi “Di Depan Tugu Pahlawanan”, “dulu kakekmu tewas di sini/setelah dikeroyok empat begal/sepulang ngemis di depan Pasar Turi”. Maupun percampuran ras, Madura, Arab dan pecinan, lek enti’ lu/ketemu be’ aku/tolong bho’ lu tanya’i/darimana asalku/ato sapa namaku//soale tinggaku/nde’ pinggiran kota//kota surabaya/dengan pesona/panorama sing kisruh/sing cuma diinapi/para pemabuk. Di mana identitas modern yang seharusnya dapat mempermudah manusia dalam mengarungi kehidupan, teryata menjadi malapetaka bagi sebagian besar penghuni kota yang mengalami ketertinggalan budaya.

Namun lain lagi dengan penyair Aming Aminoedhin dalam, “Surabaya Ajari Aku tentang Benar”, Surabaya, ajari aku bicara apa adanya/Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat/Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap/Ajari aku tidak angkuh/Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh/Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh. Yang mengisahkan tentang kecemasan kebijakan yang tidak memihak rakyat, baik dari pejabat maupun wakil rakyat, yang lebih banyak membutakan mata hatinya daripada kebijakan yang manusiawai bagai warga kota.

Inilah panorma kehidupan kota Surabaya dengan silang sengakrutnya di mata para penyair. Merupakan sebuah peringatan bagi pengambil kebijakan dan para warga kota yang harus siap-siap mengalami kehidupan yang bukanya tambah modern namun cenderung lebih primitif atau barbar dalam tatanan etika dan moralnya.

Memang dalam struktur fisik kota, kita bisa melihat adanya kemajuan pesat, dengan banyaknya plaza, hotel, apartemen, realestat, cafe pub dan fisik lainnya yang mencerminkan kemeriahan peradaban। Namun kemajuan modernitas tersebut tidak diikuti dengan peningkatan rasionalitas dan moralitas para pejabat, wakil rakyat dan para penghuni kota lainnya, yang justru menyebabkan kebijakan-kebijakaan yang berlawanan dengan kemanusiaan dan moralitas. Sehingga secara struktural kaum bawah, selalu terpinggirkan di tengah kota yang menjanjikan mimpi indah.